Web3: Bukan Bayi yang Lahir Tiba-tiba, Tapi Revolusi yang Merangkak Naik
Pertanyaan “Web3 lahir kapan?” itu seperti nanya, “Kapan internet lahir?” Jawabannya? Bukan sekali jadi. Nggak ada pesta ulang tahun megah dengan lilin dan kue. Web3 itu lebih mirip benih yang ditanam diam-diam, lalu tiba-tiba kita sadar: “Lho, tumbuhnya sudah segini rupanya!” Ia lahir dari kekecewaan, mimpi liar, dan terobosan teknis yang disusun bertahun-tahun.
Bukan Tanggal, Tapi Rentetan “Aha! Moment”
Kalau mau nyari kapan, kita harus telusuri momen-momen “bom waktu” yang akhirnya meledakkan ide Web3:
- 2008: Petasan Nakamoto yang Mengguncang Dunia (Secara Diam-diam)
- Di tengah krisis finansial global, seseorang (atau sekelompok?) bernama samaran Satoshi Nakamoto merilis whitepaper Bitcoin. Blockchain diperkenalkan: buku besar digital yang bukan milik bank atau pemerintah, tapi milik semua orang yang ikut menjalankannya.
- Momen “Aha!”-nya: “Wah, ternyata kita bisa transaksi tanpa pihak ketiga yang ngatur-ngatur? Bisa punya sistem keuangan yang benar-benar terbuka?” Ini batu pertama fondasi filosofi Web3: desentralisasi.
- 2013-2014: Si Jenius Kutu Buku yang Bilang, “Bitcoin Keren, Tapi…”
- Vitalik Buterin, bocah jenius pemrogram, ngeliat Bitcoin cuma bisa buat transfer uang. Dia mikir: “Kenapa nggak bikin blockchain yang bisa menjalankan program apapun?” Lahirlah ide Ethereum dan Smart Contract.
- Momen “Aha!”-nya: “Bro, ini bukan cuma uang digital! Kita bisa bikin aplikasi (dApps), organisasi tanpa bos (DAO), pasar seni digital, semuanya jalan otomatis pake kode! Blockchain jadi ‘komputer dunia’!” Ini mesinnya Web3 mulai dibangun.
- Akhir 2014: Sang Arsitek yang Kasih Nama “Web3”
- Gavin Wood, otak lain di balik Ethereum, nggak cuma bikin kode. Dia juga filsuf. Dialah yang pertama kali ngomong istilah “Web3” secara publik. Visinya jelas: internet baru yang verifiable (bisa diverifikasi sendiri), trustless (nggak perlu percaya orang tengah), dan permissionless (siapa aja boleh join).
- Momen “Aha!”-nya: *”Ini bukan cuma teknologi baru, ini *filosofi baru* buat internet! Web 1.0 baca, Web 2.0 baca-tulis (tapi dikontrol korporat), Web 3.0 baca-tulis-punya!”* Nama “Web3” resmi tercatat.
2015: “Dunia Paralel” Internet Mulai Hidup (Dengan Bug dan Semuanya!)
- Tanggal 30 Juli 2015 patut dicetak tebal. Jaringan Ethereum mainnet resmi hidup! Smart contract pertama kali dieksekusi di blockchain publik. Developer mulai bereksperimen bikin dApps aneh-aneh (dan sering gagal).
- Kenapa ini penting? Visi Gavin dan Vitalik bukan lagi mimpi di atas kertas. Ada tempat buat ngembangin ide gila Web3. Bayangkan ini seperti peluncuran stasiun luar angkasa tempat koloni baru (Web3) akan dibangun. Berantakan? Pasti! Tapi nyata.
2017-Sekarang: Demam, Kecelakaan, & Bangkit Lagi (Siklus Web3)
Web3 nggak meledak jadi superstar dalam semalam. Ia melewati rollercoaster:
- 2017: Demam ICO (Initial Coin Offering) – Euforia & Hangover
- Proyek Web3 baru bertebaran cari dana lewat jual token. Banyak yang inovatif, tapi banyak banget yang scam atau nggak jelas. Uang mengalir deras, harga kripto meroket, lalu… Jeblok! Banyak yang bangkrut. Tapi, satu hal: kata “Web3” mulai dikenal di luar komunitas teknis.
- 2020-2021: DeFi & NFT – “Ini Baru Keren!”
- DeFi (Keuangan Terdesentralisasi): Protokol kayak Uniswap (tukar token tanpa bursa) atau Aave (pinjam-meminjam tanpa bank) beneran jalan dan ngumpulin dana puluhan miliar dolar. “Aha! Moment” besar: “Lho, sistem keuangan kompleks bisa jalan otomatis pake smart contract? Tanpa bank?”
- NFT (Non-Fungible Token): Seni digital, koleksi unik (kayak Bored Ape), bahkan tweet dijual mahal-mahal. “Aha! Moment” kultural: *”Gue bisa punya *bukti kepemilikan* aset digital yang nggak bisa dipalsuin? Ini game-changer buat kreator!”* Web3 jadi bahan obrolan di kafe dan meme di media sosial.
- 2022-Sekarang: Musim Dingin Kripto & Pematangan
- Harga jatuh, perusahaan bangkrut (FTX jadi skandal besar). Tapi di balik itu, pembangunan teknis terus jalan. Solusi scaling (Layer 2), peningkatan keamanan, dan UX yang lebih ramah pengguna biasa terus dikembangkan. Investor besar dan perusahaan tradisional mulai masuk lebih hati-hati, tanda Web3 bukan sekadar angin lalu.
Jawaban Jujur: Web3 Masih “Balita” yang Belum Bisa Lari Kencang
Mau nyari tanggal lahir pasti? Nggak bisa. Web3 adalah proses:
- Konsepnya “lahir” di benak Gavin Wood (2014) setelah berdiri di pundak Bitcoin (2008) dan ide Ethereum (2013).
- Teknologi dasarnya “bisa dipakai” saat Ethereum mainnet hidup (2015).
- Kesadaran massal “meledak” berkat DeFi dan NFT (2020-2021).
Tapi, jangan salah: Web3 masih sangat muda dan berantakan!
- Masalah Nyata: Biaya transaksi mahal (gas fee), aplikasi ribet buat orang biasa, aturan hukum belum jelas, masih banyak scam, dan pertanyaan: “Beneran desentralisasi nggak sih?”
- Tantangan Besar: Bagaimana bikin teknologi canggih ini bermanfaat buat orang biasa, bukan cuma buat geek kripto atau spekulan?
Kesimpulan: Kelahiran yang Masih Berlangsung…
Jadi, kapan Web3 lahir? Pertanyaannya mungkin salah. Web3 bukan bayi yang lahir sekali terus selesai. Ia lebih seperti revolusi digital yang sedang dalam proses kelahiran panjang. Setiap dApp baru yang bermanfaat, setiap komunitas DAO yang sukses ngatur diri sendiri, setiap seniman lokal yang sukses lewat NFT, adalah detak jantung baru bagi ekosistem ini.
Ia “lahir” dari ketidakpuasan pada Web2 yang dikuasai raksasa korporat. Ia “lahir” setiap kali seseorang memegang kunci kriptonya sendiri dan berkata, “Ini asetku, di internet yang lebih terbuka.” Kelahiran Web3 bukan peristiwa masa lalu, tapi perjalanan yang kita tulis bersama sekarang.